SKRINING GANGGUAN PENDENGARAN PADA BAYI BARU LAHIR |
oleh : dr. Emmy Pramesthy, SpTHT |
|
|
|
Kemampuan mendengar pada bayi merupakan bagian penting dalam menunjang kemampuan belajarnya kelak. Apa yang didengarnya ikut menentukan kemampuan bicaranya. Oleh karena itulah, skrining gangguan pendengaran sejak ia lahir sangat penting untuk mendeteksi kelainan sedini mungkin.
Periode kritis perkembangan pendengaran dan bicara dimulai pada 6 bulan pertama kehidupan dan terus berlanjut hingga usia 2 tahun. Adanya gangguan pendengaran pada bayi dan anak sulit diketahui sejak awal. Insiden gangguan pendengaran pada neonatus di Amerika Serikat berkisar 1-3 dari 1000 kelahiran hidup. Sedangkan data di Indonesia saat ini menurut survei Kesehatan Indera Pendengaran di 7 propinsi tahun 1994-1996 didapatkan 0,01% penduduk menderita tuli sejak lahir. |
|
Tujuan : |
Menemukan gangguan pendengaran sedini mungkin pada bayi baru lahir, agar dapat segera dilakukan habilitasi pendengaran yang optimal sehingga dampak negatif cacat pendengaran dapat dibatasi.
Berdasarkan fasilitas yang tersedia, skrining gangguan pendengaran dapat dikelompokkan menjadi: |
1. |
Di rumah sakit (hospital based hearing screening) |
2. |
Komunitas (community based hearing screening) |
|
|
Di RS skrining pendengaran dikelompokkan menjadi : |
1. |
Universal newborn hearing screening (UNHS) |
2. |
Targeted newborn hearing screening. |
|
|
Universal newborn hearing screening (UNHS) |
Skrining pada semua bayi untuk mendeteksi gangguan pendengaran tanpa melihat faktor resiko dan gejalanya. Menggunakan Otoacoustic emissions (OAE), Auditory Brainstem response (ABR), atau kombinasi keduanya. Kedua tes terbukti berhasil untuk menilai fungsi pendengaran secara noninvasif.
American Academy of Pediatrics (AAP),dan Joint Committe on Infant Hearing (JCIH)2007 merekomendasikan dilakukan skrining gangguan pendengaran pada semua bayi baru lahir. Direkomendasikan gangguan pendengaran kongenital terdiagnosis sebelum usia 3 bulan dan mendapat intervensi sebelum usia 6 bulan.
Hal ini berkaitan dengan adanya fase kritis perkembangan kemampuan bahasa dan intervensi lebih dini memberikan hasil yang lebih baik. Terapi gangguan pendengaran terbukti memperbaiki kemampuan komunikasi anak. |
1. |
Dilakukan pada semua bayi baru lahir (dengan /tanpa faktor resiko gangguan pendengaran). |
2. |
Skrining dengan Otoacoustic emission (OAE) sebelum bayi keluar RS (usia 2 hari). |
|
|
Targeted newborn hearing screening |
|
Skrining hanya dilakukan pada bayi yang memiliki faktor resiko. |
|
Faktor resiko gangguan pendengaran: |
|
Usia 0 - 28 hari (neonatus) |
- |
Riwayat tuli/gangguan pendengaran dalam keluarga, yang diduga sejak lahir (kongenital) |
- |
Infeksi selama kehamilan (toksoplasmosisi, rubella, cytomegalovirus, herpes, sifilis) |
- |
Kelainan anatomi craniofacial |
- |
Hiperbilirubinemia (bayi kuning) |
- |
Berat lahir kurang dari 1500 gram |
- |
Meningitis bakterial |
- |
Nilai skor Apgar rendah: 0-3 pada menit 5, 0-6 pada menit ke 10 |
- |
Distres nafas |
- |
Penggunaan ventilator >10 hari |
- |
Mendapat terapi yang memiliki efek samping ototoksis selama > 5 hari |
- |
Cacat fisik yang berkaitan dengan sindroma tertentu (Sindroma down, sindroma waardenburg) |
|
|
Usia 29 – 24 bulan |
- |
Kecurigaan orang tua adanya gangguan pendengaran, bicara, bahasa, dan keterlambatan perkembangan |
- |
Adanya riwayat salah satu resiko di atas selama neonatus |
- |
Cedera kepala dengan fraktur tulang temporal |
- |
Otitis media efusi (OME) persisten > 3 bln |
- |
Riwayat infeksi yang berkaitan dengan tuli sensorineural (SNHL) seperti menengitis, parotitis, campak |
- |
Penyakit degeneratif/demielinisasi |
|
|
Sumber, Joint committe on Infant Hearing, 2000 (principles and guidlinesfor early hearing detection and intervention. Pediatrics. 2000; 106; 798-817) |
|
Baca juga Artikel terkait : |
|