Oleh : Indri Putri W, M.Psi.,Psi. - RS Husada Utama
Empati sebenarnya berkembang sejak anak masih berusia sangat dini. Pada anak bayi, perilaku yang menunjukkan empati terlihat dari bagaimana seorang bayi ikut menangis ketika ada bayi lain yang menangis, bagaimana seorang bayi mengulum jarinya sendiri ketika ada temannya yang merasa sakit, ataupun bagaimana seorang anak balita mengusap matanya sendiri ketika melihat ibunya menangis (menurut Daniel Goleman).
Goleman juga mengatakan bahwa kepekaan empati pada anak ini mulai lenyap di usia 2,5 tahun ketika mereka memahami bahwa penderitaan anak lain berbeda dengan penderitaan mereka. Dalam tahap inilah perkembangan empati tiap anak mulai berbeda. Ada yang sangat peduli pada perasaan anak lain dan ada yang tidak.
Perbedaan kepekaan empati ini, berkaitan dengan pola asuh orangtua. Ternyata anak akan lebih empatik dengan penerapan disiplin yang juga diimbangi dengan perhatian yang sungguh-sungguh. Sebagai contoh dengan menghindari penggunaan labeling, berikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap bagaimana perilaku anak telah merugikan orang lain dengan kalimat, “Lihat… sekarang dia (sebut nama temannya, terserah… random) jadi sedih…” dibandingkan dengan kalimat “ nakalnya kamu.” Kalimat pertama dianggap lebih memupuk empati pada anak.
Awal atau akar empati pada anak juga sebenarnya adalah bagaimana ibu/ pengasuh merespon anak. Misalnya, ketika masih bayi si anak tertawa dengan gembira, si ibu juga mengimbangi dengan menggelitik , mengajak bicara, atau menyamakan nada suara dengan si anak. Dengan demikian, anak tahu bahwa ia direspon atau dipahami oleh si ibu, dan juga diinginkan secara emosional.
Ketiadaan momen ini (Goleman nyebutnya ‘penyetalaan’)… ketiadaan penyetalaan ini, atau jika orangtua terus menerus gagal berempati pada emosi-emosi anak, maka anak akan belajar untuk berhenti mengungkapkan atau menghindari untuk merasakan emosi yang sama dengan orangtua atau orang lain.
Penganiayaan emosi atau penyia-nyiaan, termasuk penggunaan kata-kata yang kasar, hinaan, dan kekasaran akan menjadi terlalu waspada pada emosi-emosi di sekitarnya, tapi waspadanya setara waspada orang-orang pascatrauma, penuh perasaan terancam. Dalam pertumbuhannya, anak-anak yang sering mengalami penganiayaan psikologis akan menderita pola perubahan emosi yang hebat saat dewasa, dalam artian berubah-ubah, yang sering didiagnosa dengan nama Kepribadian Ambang Batas (Borderline Personality).
Disclaimer - Kebijakan Isi Website : Seluruh isi website ini (termasuk dan tidak terbatas pada tulisan, gambar, tautan dan dokumen) adalah bersifat informatif
yang tidak ditujukan untuk mengganti nasihat medis, keterangan diagnosis, maupun saran tindakan medis yang dikeluarkan oleh tenaga profesional medis (dokter).
Selalu konsultasikan kesehatan Anda kepada dokter untuk mendapatkan saran medis yang sesuai dengan keadaan Anda.