Oleh : Indri Putri W, M.Psi.,Psi. - RS Husada Utama
Salah satu cara untuk melatih anak peka terhadap sekeliling adalah dengan medorong anak untuk tanggap terhadap apa yang dilihat, yang dibaca, yang didengar, yang dirasakan dan yang dialami, sejak usia semuda mungkin.
Tapi, sayang sekali orang tua (orang dewasa), khususnya di Indonesia, tidak melihat ini sebagai kesempatan emas yang harus dipergunakan dengan baik. Ketika masih kecil anak terlalu dibiarkan bertumbuh sendiri dan tidak dibimbing untuk diajar dengan tujuan dan dengan sengaja (intentional). Saya banyak mendengar orang tua yang beralasan, "ah, anak masih kecil, kasihan, jangan terlalu banyak diajarin logika, nanti anak jadi stres. Nanti kalau udah besar `kan akan tahu sendiri." Tapi orang tua tidak sadar bahwa ada masa-masa dimana anak lebih mudah diajar dibanding kalau sudah besar, karena mungkin sudah tidak sepeka dan seantusias ketika masih kecil. Selain itu, jika sejak usia muda diajar dasar-dasar logika, maka tahun-tahun berikutnya akan menjadi semakin mahir menggunakannya dan semakin mudah mengembangkannya. Selain itu juga lebih menguntungkan dia karena menolongnya untuk belajar apa pun dengan lebih mudah.
Memang anak bisa stres jika belajar dalam keadaan tertekan. Tapi sebenarnya hal itu tergantung dari pendekatan orang tua dan cara mengajarnya. Jika hubungan orang tua dan anak baik, dan anak mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup, maka diajar sesulit apa pun tidak akan membuat anak stres. Anak stres sering disebabkan karena hubungan anak dan orang tua (keluarga) yang tidak harmonis.
Cara mengajar anak kecil untuk peka tidak harus dengan teori-teori yang ilmiah. Cukup menggunakan situasi kehidupan sehari-hari yang ada di rumah.Melatih anak untuk menjadi pribadi yang peka dan berkasih sayang dimulai dengan mengajarkan anak untuk berempati.
Empati... What is that?
Ada sebuah kisah nyata yang bukunya telah menjadi best-seller, berjudul Sheila. Dikisahkan bagaimana Sheila ketika kecil yang masih berumur 6 tahun senang menyakiti binatang dan kawannya. Ia pernah mencongkel mata ikan hidup-hidup, dan juga pernah menculik anak usia 3 tahun untuk dibakar. Sheila adalah seorang anak yang tidak mempunyai rasa empati, yaitu kemampuan untuk merasakan penderitaan orang lain.
Alfred Adler mendefinisikan empati dengan kemampuan seseorang untuk “melihat dengan mata orang lain, mendengar dengan kuping orang lain, dan merasakan dengan hati orang lain”. Rasa kepedulian, kasih sayang, dan keinginan menolong sesama adalah bersumber dari adanya rasa empati pada diri seseorang. Seorang yang mempunyai rasa empati dapat merasakan penderitaan orang lain, binatang, atau makhluk hidup lainnya, sehingga timbul keinginan untuk dapat berbuat sesuatu untuk menolong atau meringankan penderitaan sesama makhluk hidup.
Orang yang mempunyai rasa empati tinggi biasanya dermawan, disenangi dalam pergaulan, mudah menyesuaikan diri, dan percaya diri. Bahkan hasil penelitian Gallo (1989) menunjukkan adanya hubungan yang erat antara rasa empati dan kemampuan berpikir kritis dan kreatif, serta keberhasilan akademik.
Disclaimer - Kebijakan Isi Website : Seluruh isi website ini (termasuk dan tidak terbatas pada tulisan, gambar, tautan dan dokumen) adalah bersifat informatif
yang tidak ditujukan untuk mengganti nasihat medis, keterangan diagnosis, maupun saran tindakan medis yang dikeluarkan oleh tenaga profesional medis (dokter).
Selalu konsultasikan kesehatan Anda kepada dokter untuk mendapatkan saran medis yang sesuai dengan keadaan Anda.